Rabu, 30 Mei 2012
Sayyidina Abu Bakar As Siddiq
Abu Bakar As Siddiq ayah dari Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Namanya yang sebenarnya adalah Abdul Ka'bah (artinya 'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh Rasulullah Saw menjadi Abdullah (artinya 'hamba Allah'). Abu Bakar As Siddiq atau Abdullah bin Abi Quhafah (Usman) bin Amir bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al-Quraisy at-Taimi. Bertemu nasabnya dengan Nabi saw kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai, kakek yang keenam. Dan ibunya, Ummul-Khair, sebenarnya bernama Salma binti Sakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim. Nabi Muhammad Saw juga memberinya gelar As Siddiq (artinya 'yang berkata benar'), sehingga ia lebih dikenal dengan nama Abu Bakar as-Siddiq.
Abu Bakar As Siddiq tumbuh dan besar di Mekah dan tidak pernah keluar dari Mekah kecuali untuk tujuan dagang dan bisnis. Beliau memiliki harta kekayaan yang sangat banyak dan kepribadian yang sangat menarik, memiliki kebaikan yang sangat banyak, dan sering melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Dughunnah, sesungguhnya engkau selalu menyambung tali kasih dan keluarga, bicaramu selalu benar, dan kau menanggung banyak kesulitan, kau bantu orang-orang yang menderita dan kau hormati tamu.
An-Nawawi berkata: Abu Bakar As Siddiq termasuk tokoh Quraisy dimasa Jahiliyah, orang yang selalu dimintai nasehat dan pertimbangannya, sangat dicintai dikalangan mereka, sangat mengetahui kode etik dikalangan mereka. Tatkala, Islam datang Abu Bakar As Siddiq mengedepankan Islam atas yang lain, dan beliau masuk Islam dengan sempurna.
Zubair bin Bakkar bin Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ma’ruf bin Kharbudz dia berkata: Sesungguhnya Abu Bakar As Siddiq adalah salah satu dari 10 orang Quraisy yang kejayaannya dimasa Jahiliyah bersambung hingga zaman Islam. Abu Bakar As Siddiq mendapat tugas untuk melaksanakan diyat (tebusan atas darah kematian) dan penarikan hutang. Ini terjadi karena orang-orang Quraisy tidak memiliki raja dimana mereka bisa mengembalikan semua perkara itu kepada raja. Pada setiap kabilah dikalangan Quraisy saat itu, ada satu kekuasaan umum yang memiliki kepala suku dan kabilah sendiri.
Istri-istri dan anak Abu Bakar.
Abu Bakar pernah menikahi Qutailah binti Abdul Uzza bin Abd bin As’ad pada masa jahiliyyah dan dari pernikahan tersebut lahirlah Abdullah dan Asma’.
Beliau juga menikah dengan Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Zuhal bin Dahman dari Kinanah, dari pernikahan tersebut lahirlah Abdurrahman dan ‘Aisyah.
Beliau juga menikah dengan Asma’ binti Umais bin ma’add bin Taim al-Khatts’amiyyah, dan sebelumnya Asma’ diperistri oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dari hasil pernikahannya ini lahirlah bin Abu Bakar, dan kelahiran tersebut terjadi pada waktu haji Wada’ di Dzul Hulaifah.
Beliau juga menikah dengan Habibah binti Kharijah bin Zaid bin Zuhair dari Bani al-Haris bin al-Khazraj.
Abu Bakar pernah singgah di rumah Kharijah ketika beliau datang ke Madinah dan kemudian mempersunting putrinya, dan beliau masih terus berdiam dengannya di suatu tempat yang disebut dengan as-Sunuh hingga Rasullullah saw wafat dan beliau kemudian diangkat menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Dari pernikahan tersebut lahirlah Ummu Khultsum.
Orang yang paling bersih di masa Jahilliyah
Ibnu Asakir meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Aisyah, dia berkata: demi Allah, Abu Bakar As Siddiq tidak pernah melantunkan satu syairpun di masa Jahiliyah dan tidak pula dimasa Islam. Abu Bakar As Siddiq dan Utsman bin Affan tidak pernah minum minuman keras di zaman Jahiliyah.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, dia berkata, Abu Bakar As Siddiq sama sekali tidak pernah mengucapkan syair.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abu Al-Aliyyah Ar-rayahi, dia berkata: Dikatakan kepada Abu Bakar As Siddiq ditengah sekumpulan sahabat Rasulullah: Apakah kamu pernah meminum minuman keras di zaman Jahiliyah? Beliau berkata, ”Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan itu!”
Sifat Abu Bakar As Siddiq
Ibnu Saad meriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang laki-laki berkata kepadanya: Coba sebutkan kepada saya gambaran tentang Abu Bakar As Siddiq! Kata Aisyah: dia adalah laki-laki kulit putih, kurus, tidak terlalu lebar bentuk tubuhnya,sedikit bungkuk, tidak bisa untuk menahan pakaiannya turun dari pinggangnya, tulang-tulang wajahnya menonjol, dan pangkal jemarinya datar.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Abu Bakar As Siddiq mewarnai rambutnya dengan 'daun pacar' dan katam (nama jenis tumbuhan). Dia juga meriwayatkan dari Anas, dia berkata, Rasulullah datang ke Madinah, dan tidak ada salah seorang dari para sahabatnya yang beruban kecuali Abu Bakar As Siddiq, maka dia menyemirnya dengan daun pacar dan katam.
Abu Bakar As Siddiq dilahirkan di Mekah dari keturunan Bani Tamim ( Attamimi ), suku bangsa Quraisy. Berdasarkan beberapa sejarawan Islam, ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar serta dipercayai sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.
Era bersama Nabi saw
Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakar As Siddiq membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan. Sehingga diriwayatkan bahwa Abu Bakar As Siddiq memiliki 9 toko yang semuanya habis dibuat untuk tegaknya agama islam. Beberapa budak yang ia bebaskan antara lain :
# Bilal bin Rabbah
# Abu Fakih
# Ammar
# Abu Fuhaira
# Lubainah
# An Nahdiah
# Ummu Ubays
# Zinnira
Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar As Siddiq adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar As Siddiq juga terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.
Menjadi Khalifah
Selama masa sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar As Siddiq ditunjuk untuk menjadi imam shalat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar As Siddiq akan menggantikan posisinya. Segera setelah kematiannya (632), dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar As Siddiq sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam.
Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu Bakar As Siddiq sebagai khalifah adalah subyek yang sangat kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi'ah. Di satu sisi kaum Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad), yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah SAW sendiri sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah SAW menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Rasulullah mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin. Sementara muslim syi'ah berpendapat kalau Rasulullah saw dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dll, tidak pernah meninggalkan umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir, dan juga banyak hadits di Sunni maupun Syi'ah tentang siapa khalifah sepeninggal Rasulullah saw, serta jumlah pemimpin islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali bin Abu Thalib sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu Bakar As Siddiq dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali bin Abu Thalib menjadi pendukung setia Abu Bakar As Siddiq dan Umar bin Khattab. Sementara kaum syi'ah menggambarkan bahwa Ali bin Abu Thalib melakukan baiat tersebut secara "pro forma," mengingat beliau berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istri beliau yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.
Perang Ridda
Segera setelah menjabat Abu Bakar As Siddiq, beberapa masalah yang mengancam persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa diantaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad SAW dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Ridda. Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi "Ibnu Habib al-Hanafi" yang lebih dikenal dengan nama Musailamah Al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad SAW. Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid.
Al Quran
Abu Bakar As Siddiq juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Quran. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal Al Qur'an yang ikut tewas dalam pertempuran. Abu Bakar As Siddiq lantas meminta Umar bin Khattab untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur'an. Setelah lengkap koleksi ini, yang dikumpulkan dari para penghafal Al-Quran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya, oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar bin Khattab dan juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa pemerintahan Ustman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur'an hingga yang dikenal hingga saat ini.
Abu Bakar As Siddiq meninggal pada tanggal 23 Agustus 634/ 8 Jumadil Awwal 13 H di Madinah pada usia 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah) . Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman (bin Abi Bakar), Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidillah.
Sayyidina Umar Bin Khattab
"Ya Allah...buatlah Islam ini kuat dengan masuknya salah satu dari kedua orang ini. Amr bin Hisham atau Umar bin Khattab." Salah satu dari doa Rasulullah pada saat Islam masih dalam tahap awal penyebaran dan masih lemah. Doa itu segera dikabulkan oleh Allah. Allah memilih Umar bin Khattab sebagai salah satu pilar kekuatan islam, sedangkan Amr bin Hisham meninggal seba...gai Abu Jahal.
Umar bin Khattab dilahirkan 12 tahun setelah kelahiran Rasulullah saw. Ayahnya bernama Khattab dan ibunya bernama Khatmah. Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta warna kulitnya coklat kemerah-merahan.
Beliau dibesarkan di dalam lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari suku Quraisy. Beliau merupakan khalifah kedua didalam islam setelah Abu Bakar As Siddiq.
Nasabnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin Razah bin 'Adiy bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada kakeknya Ka'ab. Antara beliau dengan Nabi selisih 8 kakek. lbu beliau bernama Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumiyah. Rasulullah memberi beliau "kun-yah" Abu Hafsh (bapak Hafsh) karena Hafshah adalah anaknya yang paling tua; dan memberi "laqab" (julukan) al Faruq.
Umar bin Khattab masuk Islam
Sebelum masuk Islam, Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang yang keras permusuhannya dengan kaum Muslimin, bertaklid kepada ajaran nenek moyangnya, dan melakukan perbuatan-perbuatan jelek yang umumnya dilakukan kaum jahiliyah, namun tetap bisa menjaga harga diri. Beliau masuk Islam pada bulan Dzulhijah tahun ke-6 kenabian, tiga hari setelah Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam.
Ringkas cerita, pada suatu malam beliau datang ke Masjidil Haram secara sembunyi-sembunyi untuk mendengarkan bacaan shalat Nabi. Waktu itu Nabi membaca surat al-Haqqah. Umar bin Khattab kagum dengan susunan kalimatnya lantas berkata pada dirinya sendiri- "Demi Allah, ini adalah syair sebagaimana yang dikatakan kaum Quraisy." Kemudian beliau mendengar Rasulullah membaca ayat 40-41 (yang menyatakan bahwa Al Qur'an bukan syair), lantas beliau berkata, "Kalau begitu berarti dia itu dukun." Kemudian beliau mendengar bacaan Nabi ayat 42, (Yang menyatakan bahwa Al-Qur'an bukan perkataan dukun.) akhirnya beliau berkata, "Telah terbetik lslam di dalam hatiku." Akan tetapi karena kuatnya adat jahiliyah, fanatik buta, pengagungan terhadap agama nenek moyang, maka beliau tetap memusuhi Islam.
Kemudian pada suatu hari, beliau keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud membunuh Nabi. Dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Nu`aim bin Abdullah al 'Adawi, seorang laki-laki dari Bani Zuhrah. Lekaki itu berkata kepada Umar bin Khattab, "Mau kemana wahai Umar?" Umar bin Khattab menjawab, "Aku ingin membunuh Muhammad." Lelaki tadi berkata, "Bagaimana kamu akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah, kalau kamu membunuh Muhammad?" Maka Umar menjawab, "Tidaklah aku melihatmu melainkan kamu telah meninggalkan agama nenek moyangmu." Tetapi lelaki tadi menimpali, "Maukah aku tunjukkan yang lebih mencengangkanmu, hai Umar? Sesuugguhnya adik perampuanmu dan iparmu telah meninggalkan agama yang kamu yakini."
Kemudian dia bergegas mendatangi adiknya yang sedang belajar Al Qur'an, surat Thaha kepada Khabab bin al Arat. Tatkala mendengar Umar bin Khattab datang, maka Khabab bersembunyi. Umar bin Khattab masuk rumahnya dan menanyakan suara yang didengarnya. Kemudian adik perempuan Umar bin Khattab dan suaminya berkata, "Kami tidak sedang membicarakan apa-apa." Umar bin Khattab menimpali, "Sepertinya kalian telah keluar dari agama nenek moyang kalian." Iparnya menjawab, "wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran itu bukan berada pada agamamu?" Mendengar ungkapan tersebut Umar bin Khattab memukulnya hingga terluka dan berdarah, karena tetap saja saudaranya itu mempertahankan agama Islam yang dianutnya, Umar bin Khattab berputus asa dan menyesal melihat darah mengalir pada iparnya.
Umar bin Khattab berkata, 'Berikan kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku ingin membacanya.' Maka adik perempuannya berkata," Kamu itu kotor. Tidak boleh menyentuh kitab itu kecuali orang yang bersuci. Mandilah terlebih dahulu!" lantas Umar bin Khattab mandi dan mengambil kitab yang ada pada adik perempuannya. Ketika dia membaca surat Thaha, dia memuji dan muliakan isinya, kemudian minta ditunjukkan keberadaan Rasulullah.
Tatkala Khabab mendengar perkataan Umar bin Khattab, dia muncul dari persembunyiannya dan berkata, "Aku akan beri kabar gembira kepadamu, wahai Umar! Aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Rasulullah pada malam Kamis, 'Ya Allah, muliakan Islam.dengan Umar bin Khatthab atau Abu Jahl (Amru) bin Hisyam.' Waktu itu, Rasulullah berada di sebuah rumah di daerah Shafa." Umar bin Khattab mengambil pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Ketika ada salah seorang melihat Umar bin Khattab datang dengan pedang terhunus dari celah pintu rumahnya, dikabarkannya kepada Rasulullah. Lantas mereka berkumpul. Hamzah bin Abdul Muthalib bertanya, "Ada apa kalian?" Mereka menjawab, 'Umar (datang)!" Hamzah bin Abdul Muthalib berkata, "Bukalah pintunya. Kalau dia menginginkan kebaikan, maka kita akan menerimanya, tetapi kalau menginginkan kejelekan, maka kita akan membunuhnya dengan pedangnya." Kemudian Nabi menemui Umar bin Khattab dan berkata kepadanya. "... Ya Allah, ini adalah Umar bin Khattab. Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khattab." Dan dalam riwayat lain: "Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar."
Seketika itu pula Umar bin Khattab bersyahadat, dan orang-orang yang berada di rumah tersebut bertakbir dengan keras. Menurut pengakuannya dia adalah orang yang ke-40 masuk Islam. Abdullah bin Mas'ud berkomentar, "Kami senantiasa berada dalam kejayaan semenjak Umar bin Khattab masuk Islam."
Kepemimpinan Umar bin Khattab
Keislaman beliau telah memberikan andil besar bagi perkembangan dan kejayaan Islam. Beliau adalah pemimpin yang adil, bijaksana, tegas, disegani, dan selalu memperhatikan urusan kaum muslimin. Pemimpin yang menegakkan ketauhidan dan keimanan, merobohkan kesyirikan dan kekufuran, menghidupkan sunnah dan mematikan bid'ah. Beliau adalah orang yang paling baik dan paling berilmu tentang al-Kitab dan as-Sunnah setelah Abu Bakar As Siddiq.
Kepemimpinan Umar bin Khattab tak seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar As Siddiq. Pada masa kepemimpinannya kekuasaan islam bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.
Dalam masa kepemimpinan sepuluh tahun Umar bin Khattab itulah, penaklukan-penaklukan penting dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar bin Khattab memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636), pasukan Islam berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan Islam telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639, pasukan Islam menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna.
Penyerangan Islam terhadap Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia telah mulai bahkan sebelum Umar bin Khattab naik jadi khalifah. Kunci kemenangan Islam terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637, terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Menjelang tahun 641, seseluruh Irak sudah berada di bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya itu, pasukan Islam bahkan menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend (642), mereka secara menentukan mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya Umar bin Khattab di tahun 644, sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala Umar bin Khattab wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika Utara.
Selain pemberani, Umar bin Khattab juga seorang yang cerdas. Dalam masalah ilmu diriwayatkan oleh Al Hakim dan Thabrani dari Ibnu Mas’ud berkata, ”Seandainya ilmu Umar bin Khattab diletakkan pada tepi timbangan yang satu dan ilmu seluruh penghuni bumi diletakkan pada tepi timbangan yang lain, niscaya ilmu Umar bin Khattab lebih berat dibandingkan ilmu mereka. Mayoritas sahabatpun berpendapat bahwa Umar bin Khattab menguasai 9 dari 10 ilmu. Dengan kecerdasannya beliau menelurkan konsep-konsep baru, seperti menghimpun Al Qur’an dalam bentuk mushaf, menetapkan tahun hijriyah sebagai kalender umat Islam, membentuk kas negara (Baitul Maal), menyatukan orang-orang yang melakukan sholat sunah tarawih dengan satu imam, menciptakan lembaga peradilan, membentuk lembaga perkantoran, membangun balai pengobatan, membangun tempat penginapan, memanfaatkan kapal laut untuk perdagangan, menetapkan hukuman cambuk bagi peminum "khamr" (minuman keras) sebanyak 80 kali cambuk, mencetak mata uang dirham, audit bagi para pejabat serta pegawai dan juga konsep yang lainnya.
Namun dengan begitu beliau tidaklah menjadi congkak dan tinggi hati. Justru beliau seorang pemimpin yang zuhud lagi wara’. Beliau berusaha untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dalam satu riwayat Qatadah berkata, ”Pada suatu hari Umar bin Khattab memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang sebagiannnya dipenuhi dengan tambalan dari kulit, padahal waktu itu beliau adalah seorang khalifah, sambil memikul jagung ia lantas berjalan mendatangi pasar untuk menjamu orang-orang.” Abdullah, puteranya berkata, ”Umar bin Khattab berkata, ”Seandainya ada anak kambing yang mati di tepian sungai Eufrat, maka umar merasa takut diminta pertanggung jawaban oleh Allah SWT.”
Beliaulah yang lebih dahulu lapar dan yang paling terakhir kenyang, Beliau berjanji tidak akan makan minyak samin dan daging hingga seluruh kaum muslimin kenyang memakannya…
Tidak diragukan lagi, khalifah Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan adil dalam mengendalikan roda pemerintahan. Bahkan ia rela keluarganya hidup dalam serba kekurangan demi menjaga kepercayaan masyarakat kepadanya tentang pengelolaan kekayaan negara. Bahkan Umar bin Khattab sering terlambat salat Jum'at hanya menunggu bajunya kering, karena dia hanya mempunyai dua baju.
Kebijaksanaan dan keadilan Umar bin Khattab ini dilandasi oleh kekuatirannya terhadap rasa tanggung jawabnya kepada Allah SWT. Sehingga jauh-jauh hari Umar bin Khattab sudah mempersiapkan penggantinya jika kelak dia wafat. Sebelum wafat, Umar berwasiat agar urusan khilafah dan pimpinan pemerintahan, dimusyawarahkan oleh enam orang yang telah mendapat ridha Nabi SAW. Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidilah, Zubair binl Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Umar menolak menetapkan salah seorang dari mereka, dengan berkata, aku tidak mau bertanggung jawab selagi hidup sesudah mati. Kalau AIlah menghendaki kebaikan bagi kalian, maka Allah akan melahirkannya atas kebaikan mereka (keenam orang itu) sebagaimana telah ditimbulkan kebaikan bagi kamu oleh Nabimu.
[Masjid Nabawi, Makam Umar bin Khattab] Masjid Nabawi, Makam Umar bin Khattab
Wafatnya Umar bin Khattab
Pada hari Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar Bin Kattab wafat, Beliau ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah, budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di samping Nabi saw dan Abu Bakar as Siddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.
Sayyidina Utsman Bin Affan
Pada tahun pertama dari khilafah Utsman bin Affan, yaitu tahun 24 Hijriah, negeri Rayyi berhasil ditaklukkan. Sebelumnya, negeri ini pernah ditaklukkan, tetapi kemudian dibatalkan. Pada tahun yang sama, berjangkit wabah demam berdarah yang menimpa banyak orang. Khalifah Utsman bin Affan sendiri terkena sehingga beliau tidak dapat menunaikan ibadah haji. Pada tahun ini..., Utsman bin Affan mengangkat Sa'ad bin Abi Waqqash menjadi gubernur Kufah menggantikan Mughirah bin Syu'bah.
Di tahun 25 Hijriah, Utsman bin Affan memecat Sa'ad bin Abi Waqqash dari jabatan gubernur Kufah dan sebagai gantinya diangkatlah Walid bin Uqbah bin Abi Mu'ith (seorang shahabi dan saudara seibu dengan Utsman bin Affan). Inilah sebab pertama dituduhnya Utsman bin Affan melakukan nepotisme.
Pada tahun 26 Hijriah, Utsman bin Affan melakukan perluasan Masjidil Haram dengan membeli sejumlah tempat dari para pemiliknya lalu disatukan dengan masjid. Pada tahun 17 Hijriah, Mu'awiyah melancarkan serangan ke Qubrus (Siprus) dengan membawa pasukannya menyeberangi lautan. Di antara pasukan ini terdapat Ubadah bin Shamit dan istrinya, Ummu Haram binti Milhan al-Ansharish. Dalam perjalanan, Ummu Haram jatuh dari kendaraannya kemudian syahid dan dikuburkan di sana. Nabi saw pernah memberi-tahukan kepada Ummu Haram tentang pasukan ini, seraya berdoa agar Ummu Haram menjadi salah seorang dari anggota pasukan ini. Pada tahun ini, Utsman bin Affan menurunkan Amru bin Ash dari jabatan gubernur Mesir dan sebagai gantinya diangkatlah Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh. Dia kemudian menyerbu Afrika dan berhasil menaklukkannya dengan mudah. Di tahun ini pula, Andalusia berhasil ditaklukkan.
Tahun 29 Hijriah, negeri-negeri lain berhasil ditaklukkan. Pada tahun ini, Utsman bin Affan memperluas masjid Madinah al- Munawarah dan membangunnya dengan batu-batu berukir. Ia membuat tiangnya dari batu dan atapnya dari kayu (tatal). Panjangnya 160 depa dan luasnya 150 depa.
Negeri-negeri Khurasan ditaklukkan pada tahun ke-30 Hijriah sehingga banyak terkumpul kharaj (infaq penghasilan) dan harta dari berbagai penjuru. Allah memberikan karunia yang melimpah dari semua negeri kepada kaum Muslimin.
Pada tahun 32 Hijriah, Abbas bin Abdul Muththalib, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas'ud, dan Abu Darda' wafat. Orang -orang yang pernah menjabat sebagai hakim negeri Syam sampai saat itu ialah Mu'awiyah, Abu Dzarr bin Jundab bin Junadah al-Ghiffari, dan Zaid bin Abdullah. Pada tahun ke-33 Hijriah, Abdullah bin Mas'ud bin Abi Sarh menyerbu Habasyah.
Seperti diketahui, Utsman bin Affan mengangkat para kerabatnya dari bani Umaiyyah menduduki berbagai jabatan. Kebijakan ini mengakibatkan dipecatnya sejumlah sahabat dari berbagai jabatan mereka dan digantikan oleh orang yang diutamakan-nya dari kerabatnya. Kebijakan ini mengakibatkan rasa tidak senang banyak orang terhadap Utsman bin Affan. Hal inilah yang dijadikan pemicu dan sandaran oleh orang Yahudi yaitu Abdullah bin Saba' dan teman-temannya untuk membangkitkan fitnah.
Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa penduduk Kufah umumnya melakukan pemberontakan dan konspirasi terhadap Sa'id ibnul Ash, pemimpin Kufah. Mereka kemudian mengirim utusan kepada Utsman bin Affan guna menggugat kebijakannya dan alasan pemecatan sejumlah orang dari bani Umayyah. Dalam pertemuan ini, utusan tersebut berbicara kepada Utsman bin Affan dengan bahasa yang kasar sekali sehingga membuat dadanya sesak. Beliau lalu memanggil semua pimpinan pasukan untuk dimintai pendapatnya.
Akhirnya, berkumpullah di hadapannya, Mu'awiyah bin Abu Sufyan (pemimpin negeri Syam), Amr ibnul Ash (pemimpin negeri Mesir), Abduliah bin Sa'ad bin Abi Sarh (pemimpin negeri Maghrib), Sa'id ibnul Ash (pemimpin negeri Kufah), dan Abdullah bin Amir (pemimpin negeri Bashrah). Kepada mereka, Utsman bin Affan meminta pandangan mengenai peristiwa yang terjadi dan perpecahan yang muncul.... Masing-masing dari mereka kemudian mengemukakan pendapat dan pandangannya. Setelah mendengar berbagai pandangan dan mendiskusikannya, akhirnya Utsman bin Affan memutuskan untuk tidak melakukan penggantian para gubernur dan pembantunya. Kepada masing-masing mereka, Utsman bin Affan memerintahkan agar menjinakkan hati para pemberontak dan pembangkang tersebut dengan memberi harta dan mengirim mereka ke medan peperangan lain dan pos-pos perbatasan.
Setelah peristiwa ini, di Mesir muncul satu kelompok dari anak-anak para sahabat. Mereka menggerakkan massa untuk menentang Utsman bin Affan dan menggugat sebagian besar tindakannya. Kelompok ini melakukan tindakan tersebut tentu setelah Abdullah bin Saba' berhasil menyebarkan kerusakan dan fitnah di Mesir. Ia berhasil menghasut sekitar enam ratus orang untuk berangkat ke Madinah dengan berkedok melakukan ibadah umrah, namun sebenarnya mereka bertujuan menyebarkan fitnah dalam masyarakat Madinah. Tatkala mereka hampir memasuki Madinah, Utsman bin Affan mengutus Ali bin Abu Thalib untuk menemui mereka dan berbicara kepada mereka. Ali bin Abu Thalib kemudian berangkat menemui mereka di Juhfah. Mereka ini mengagungkan Ali bin Abu Thalib dengan sangat berlebihan, karena Abdullah bin Saba' telah berhasil mempermainkan akal pikiran mereka dengan berbagai khurafat dan penyimpangan. Setelah Ali bin Abu Thalib membantah semua penyimpangan pemikiran yang sesat itu, mereka menyesali diri seraya berkata, "Orang inikah yang kalian jadikan sebagai sebab dan dalih untuk memerangi dan memprotes Khalifah (Utsman bin Affan)?" Mereka kemudian kembali dengan membawa kegagalan.
Ketika menghadap Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib melaporkan kepulangan mereka dan mengusulkan agar Utsman bin Affan menyampaikan pidato kepada orang banyak, guna meminta maaf atas tindakannya mengutamakan sebagian kerabatnya dan bahwa ia telah bertobat dari tindakan tersebut.
Usulan ini diterima olehnya. dan Utsman bin Affan kemudian berpidato di hadapan orang banyak pada hari Jum'at. Dalam pidato ini, di antaranya Utsman bin Affan mengatakan, "Ya Allah, aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertobat kepada-Mu. Ya Allah, aku adalah orang yang pertama bertobat dari apa yang telah aku lakukan."
Pernyataan ini diucapkannya sambil menangis sehingga membuat semua orang ikut menangis. Utsman bin Affan kemudian menegaskan kembali, bahwa ia akan menghentikan kebijakan yang menyebabkan timbulnya protes tersebut. Dittegaskan-nya bahwa ia akan memecat Marwan dan kerabatnya.
Setelah penegasan tersebut, Marwan bin Hakam menemui Utsman bin Affan. Dia menghamburkan kecaman dan protes kemudian berkata, "Andaikan ucapanmu itu engkau ucapkan pada waktu engkau masih sangat kuat, niscaya aku adalah orang yang pertama menerima dan mendukungnya, tetapi engkau mengucapkannya ketika banjir bah telah mencapai puncak gunung. Demi Allah, melakukan suatu kesalahan kemudian meminta ampunan dari-Nya adalah lebih baik daripada tobat karena takut kepada-Nya. Jika suka, engkau dapat melakukan tobat tanpa menyatakan kesalahan kami."
Marwan kemudian memberitahukan kepadanya bahwa di balik pintu ada segerombolan orang. Utsman bin Affan menunjuk Marwan untuk berbicara kepada mereka sesukanya. Marwan lalu berbicara kepada mereka dengan suatu pembicaraan yang buruk, sehingga merusak apa yang selama ini diperbaiki oleh Utsman bin Affan. Dalam pembicaraannya, Marwan berkata, "Kalian datang untuk merebut kerajaan dari tangan kami. Keluarlah kalian dari sisi kami. Demi Allah, jika kalian membangkang kepada kami, niscaya kalian akan menghadapi kesulitan dan tidak akan menyukai akibatnya."
Setelah mengetahui hal ini, Ali bin Abu Thalib segera datang menemui Utsman bin Affan dan dengan nada marah, ia berkata, "Mengapa engkau merelakan Marwan, sementara dia tidak menghendaki kecuali memalingkan engkau dari agama dan pikiranmu! Demi Allah, Marwan adalah orang yang tidak layak dimintai pendapat tentang agama atau dirinya sekalipun. Demi Allah, aku melihat bahwa dia akan menghadirkan kamu kemudian tidak akan mengembalikan kamu lagi. Saya tidak akan kembali setelah ini karena teguran-ku kepadamu."
Setelah Ali bin Abu Thalib keluar, Na'ilah masuk menemui Utsman bin Affan (ia telah mendengarkan apa yang diucapkan Ali bin Abu Thalib kepada Utsman bin Affan) kemudian berkata, "Aku harus bicara atau diam!" Utsman bin Affan menjawab, "Bicara lah!" Na'ilah berkata, "Aku telah mendengar ucapan Ali bin Abu Thalib bahwa dia tidak akan kembali lagi padamu, karena engkau telah menaati Marwan dalam segala apa yang dikehendakinya," Utsman bin Affan berkata, "Berilah pendapatmu kepadaku." Na'ilah memberikan pendapatnya,"Bertaqwa lah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Ikutilah sunnah kedua sahabatmu yang terdahulu (Abu Bakar As Siddiq dan Umar Bin Khattab), sebab jika engkau menaati Marwan, niscaya dia akan membunuhmu. Marwan adalah orang yang tidak memiliki harga di sisi Allah, apalagi rasa takut dan cinta. Utuslah seseorang menemui Ali bin Abu Thalib guna meminta pendapatnya, karena dia memiliki kekerabatan denganmu dan dia tidak layak ditentang."
Utsman bin Affan kemudian mengutus seseorang kepada Ali bin Abu Thalib, tetapi Dia menolak datang. Ali bin Abu Thalib berkata, "Aku telah memberitahukan kepadanya bahwa aku tidak akan kembali lagi. Sikap ini merupakan permulaan krisis yang menyulut api fitnah dan memberikan peluang kepada para tukang fitnah, untuk memperbanyak kayu bakarnya dan mencapai tujuan-tujuan busuk yang mereka inginkan.
Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah selama dua belas tahun. Tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan celah untuk mendendam-nya. Beliau bahkan lebih dicintai oleh orang-orang Quraisy umumnya ketimbang Umar bin Khattab, karena Umar bin Khattab bersikap keras terhadap mereka, sedangkan Utsman bin Affan bersikap lemah lembut dan selalu menjalin hubungan dengan mereka.
Akan tetapi, masyarakat mulai berubah sikap terhadapnya, tatkala ia mengutamakan kerabatnya dalam pemerintahan, sebagaimana telah kami sebutkan. Kebijakan ini dilakukan Utsman bin Affan atas pertimbangan silaturrahim yang merupakan salah satu perintah Allah. Akan tetapi, kebijakan ini pada akhirnya menjadi sebab pembunuhannya.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari az-Zuhri, ia berkata, "Aku pernah berkata kepada Sa'id bin Musayyab, 'Ceritakanlah kepadaku tentang pembunuhan Utsman! Bagaimana hal ini sampai terjadi!' Ibnul Musayyab berkata, 'Utsman dibunuh secara aniaya. Pembunuhnya adalah kejam dan pengkhianatnya adalah orang yang memerlukan ampunan. Ibnul Musayyab kemudian menceritakan kepada az-Zuhri tentang sebab pembunuhannya dan bagaimana hal itu dilakukan. Kami sebutkan di sini secara singkat.
Para penduduk Mesir datang mengadukan Ibnu Abi Sarh. Setelah pengaduan ini, Utsman bin Affan menulis surat kepadanya yang berisikan nasihat dan peringatan terhadapnya. Akan tetapi, Abu Sarh tidak mau menerima peringatan Utsman bin Affan, bahkan mengambil tindakan keras terhadap orang yang mengadukannya.
Selanjutnya, para tokoh sahabat, seperti Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah mengusulkan agar Utsman bin Affan memecat Ibnu Abi Sarh dan menggantinya dengan orang lain. Utsman bin Affan lalu berkata kepada mereka, "Pilihlah orang yang dapat menggantikannya." Mereka mengusulkan Muhammad bin Abu Bakar. Utsman bin Affan kemudian menginstruksikan hal tersebut dan mengangkatnya secara resmi. Surat keputusan ini kemudian dibawa oleh sejumlah sahabat ke Mesir. Baru tiga hari perjalanan dari Madinah, tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang pemuda hitam berkendaraan unta yang berjalan mundur maju.
Para sahabat Rasulullah itu kemudian menghentikannya seraya berkata, "Mengapa kamu ini! Kamu terlihat seperti orang yang lari atau mencari sesuatu!" Ia menjawab, "Saya adalah pembantu Amirul Mukminin yang diutus untuk menemui Gubernur Mesir." Ketika ditanya, "Utusan siapa kamu ini!" Dengan gagap dan ragu-ragu, ia kadang -kadang menjawab, "Saya pembantu Amirul Mukminin," dan kadang- kadang pula ia menjawab,"Saya pembantu Marwan." Mereka kemudian mengeluarkan sebuah surat dari barang bawaannya. Di hadapan dan disaksikan oleh para sahabat dari Anshar dan Muhajirin tersebut, Muhammad bin Abu Bakar membuka surat tersebut yang ternyata berisi, "Jika Muhammad beserta si fulan dan si fulan datang kepadamu, bunuhlah mereka dan batalkan-lah suratnya. Dan tetaplah engkau melakukan tugasmu sampai engkau menerima keputusanku. Aku menahan orang yang akan datang kepadaku mengadukan dirimu."
Akhirnya, para sahabat itu kembali ke Madinah dengan membawa surat tersebut. Mereka kemudian mengumpulkan para tokoh sahabat dan memberitahukan ihwal surat dan kisah utusan tersebut.
Peristiwa ini membuat seluruh penduduk Madinah gempar dan benci terhadap Utsman bin Affan. Setelah melihat hal ini, Ali bin Abu Thalib segera memanggil beberapa tokoh sahabat, antara lain Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abu Waqqash, dan Ammar. Bersama mereka, Ali bin Abu Thalib dengan membawa surat, pembantu, dan unta tersebut, masuk menemui Utsman bin Affan. Ali bin Abu Thalib bertanya kepada Utsman bin Affan, "Apakah pemuda ini pembantumu?" Utsman bin Affan menjawab "Ya." Ali bin Abu Thalib bertanya lagi, "Apakah unta ini untamu?" Utsman bin Affan menjawab "Ya." Ali bin Abu Thalib bertanya lagi, "Apakah kamu pernah menulis surat ini?" Utsman bin Affan menjawab,"Tidak." Utsman bin Affan kemudian bersumpah dengan nama Allah, "Aku tidak pernah menulis surat tersebut, tidak pernah memerintahkan penulisan surat, dan tidak mengetahui ihwal surat tersebut." Ali bin Abu Thalib bertanya lagi, "Apakah stempel ini, stempel-mu?" Utsman bin Affan menjawab, "Ya." Ali bin Abu Thalib bertanya lagi "Bagaimana pembantumu ini bisa keluar dengan menunggang untamu dan membawa surat yang distempel, dengan stempel-mu, sedangkan engkau tidak mengetahuinya?" Utsman bin Affan kemudian bersumpah dengan nama Allah, "Aku tidak pernah menulis surat ini, tidak pernah memerintahkannya, dan tidak pernah pula mengutus pembantu ini ke Mesir."
Mereka kemudian memeriksa tulisan surat tersebut dan mengetahui bahwa surat itu ditulis oleh Marwan. Mereka lalu meminta kepada Utsman bin Affan agar menyerahkan Marwan kepada mereka, tetapi Utsman bin Affan tidak bersedia melakukannya, padahal Marwan saat itu berada di dalam rumahnya. Akhirnya, orang-orang keluar dari rumah Utsman bin Affan dengan perasaan marah. Mereka mengetahui bahwa Utsman bin Affan tidak berdusta dalam bersumpah, tetapi mereka marah karena dia tidak bersedia menyerahkan Marwan kepada mereka.
Setelah itu, tersiarlah berita tersebut di seluruh Kota Madinah, sehingga sebagian masyarakat mengepung rumah Utsman bin Affan dan tidak memberikan air kepadanya. Setelah Utsman bin Affan dan keluarganya merasakan kepayahan akibat terputusnya air, ia menemui mereka seraya berkata, "Adakah seseorang yang sudi memberi tahu Ali bin Abu Thalib agar memberi air kepada kami ?" Setelah mendengar berita ini, Ali bin Abu Thalib segera mengirim tiga qirbah air. Kiriman air ini pun sampai kepada Utsman bin Affan melalui cara yang sulit sekali.
Pada saat itu, Ali bin Abu Thalib mendengar desas-desus tentang adanya orang yang ingin membunuh Utsman bin Affan, lalu ia berkata "Yang kita inginkan darinya adalah Marwan, bukan pembunuhan Utsman bin Affan." Ali bin Abu Thalib kemudian berkata kepada kedua anaknya, Hasan dan Husain, "Pergilah dengan membawa pedang kalian untuk menjaga pintu rumah Utsman. Jangan biarkan seorang pun masuk kepadanya." Hal ini juga dilakukan oleh sejumlah sahabat Rasulullah saw demi menjaga Utsman bin Affan. Ketika para pengacau menyerbu pintu rumah Utsman bin Affan ingin masuk dan membunuhnya, mereka dihentikan oleh Hasan dan Husain serta sebagian sahabat.
Sejak itu, mereka mengepung rumah Utsman bin Affan lebih ketat dan secara sembunyi-sembunyi berhasil masuk dari atap rumah. Mereka berhasil menebaskan pedang sehingga Khalifah Utsman bin Affan terbunuh. Ketika mendengar berita ini, Ali bin Abu Thalib datang dengan wajah marah, seraya berkata kepada dua orang anaknya, "Bagaimana Amirul Mukminin bisa dibunuh, sedangkan kalian berdiri menjaga pintu?" Ali bin Abu Thalib kemudian menampar Hasan dan memukul dada Husain, serta mengecam Muhammad bin Thalhah dan Abdullah bin Zubair. Demikianlah, pembunuhan Utsman bin Affan merupakan pintu dari mata rantai fitnah yang terus membentang tanpa akhir.
Pertama, di antara keutamaan dan keistimewaan yang dapat dicatat pada periode pemerintahan Utsman bin Affan ialah banyaknya penaklukan dan perluasan. Pada periode ini, seluruh Khurasan berhasil ditaklukkan. Demikian pula Afrika sampai Andalusia. Di samping itu, tercatat pula sejumlah prestasi mulia dan agung yang pernah dilakukan Utsman bin Affan, seperti menyatukan orang dalam bacaan dan tulisan al-Qur'an yang tepercaya setelah berkembangnya berbagai bacaan yang di khawatirkan dapat membingungkan orang. Juga seperti prestasinya memperluas Masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah.
Tidaklah merusak kemuliaan Utsman bin Affan jika dalam berbagai penaklukannya ia mempergunakan Abdullah bin Sa'id bin Abi Sarh dan orang-orang semisalnya, karena Islam menghapuskan semua dosa sebelumnya. Barangkali Ibnu Sarh dengan amal-amalnya yang mulia ini telah menghapuskan segala yang pernah dia lakukan sebelumnya. Bahkan seperti diketahui, ia tetap di jalan lurus setelah itu dan termasuk orang yang tetap baik agamanya.
Kedua, betapapun keras kritik yang dilontarkan kepada Utsman bin Affan karena kebijakannya dalam memilih para gubemur dan pembantunya dari kaum kerabatnya (bani Umayyah), kita harus menyadari bahwa kebijakan tersebut merupakan ijtihad pribadinya. Utsman bin Affan bahkan telah mempertahankan pendapat tersebut di hadapan sejumlah besar para sahabat. Bagaimanapun sikap kita terhadap pendapat dan pembelaan tersebut, sewaktu mengkritik, kita tidak boleh melanggar adab dalam melontarkan analisis atau pendapat. Juga kesalahan yang dilakukannya tersebut -jika hal itu kita anggap sebagai suatu kesalahan- jangan sampai melupakan kita pada kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah saw, keutamaannya sebagai generasi pertama dalam Islam, dan sabda Rasulullah saw kepadanya pada Perang Tabuk,"Tidaklah akan membahayakan Utsman apa yang dilakukannya setelah hari ini."
Hendaknya kita pun menyadari bahwa pembicaraan dan sanggahan para sahabat, terhadap kebijakannya saat itu, tidak sama dengan kritik dan gugatan yang kita lakukan sekarang terhadap masalah yang sama.
Sanggahan para sahabat terhadapnya, pada saat itu, merupakan pencegahan bagi suatu permasalahan yang ada dan mungkin dapat diubah atau diperbaiki. Segala pembicaraan, di saat itu, sekalipun ber motivasikan kritik dan menyalahkan, merupakan tindakan positif dan bermanfaat. Sementara itu, pembicaraan kita pada hari ini, setelah masalah tersebut menjadi suatu peristiwa sejarah, hanyalah merupakan tindakan kurang ajar terhadap para sahabat yang telah diberikan pujian oleh Rasulullah saw. Beliau melarang kita bersikap tidak sopan kepada mereka, terutama Khilafah Rasyidah.
Bagi siapa saja yang menginginkan amanah ilmiah dalam mengemukakan peristiwa ini, cukuplah dengan berpegang teguh kepada penjelasan yang dikemukakan oleh para penulis dan ahli sejarah tepercaya, seperti Thabari, Ibnu Katsir, dan Ibnul Atsir.
Ketiga, bersamaan dengan munculnya benih-benih fitnah pada akhir-akhir pemerintahan Utsman bin Affan, muncul pula nama Abdullah bin Saba' di pentas sejarah. Peranan Ibnu Saba' sangat menonjol dalam mengobarkan api fitnah ini. Abdullah bin Saba' adalah seorang Yahudi berasal dari Yaman. Ia datang ke Mesir pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Ia menghasut orang untuk membangkang pada Utsman bin Affan dengan dalih mencintai Ali bin Abu Thalib dan keluarga (ahlul bait) Nabi saw. Di antaranya, ia mengatakan kepada orang-orang, "Tidakkah Muhammad saw lebih baik dari Isa as di sisi Allah? Jika demikian halnya, Muhammad saw lebih berhak kembali kepada manusia daripada Isa as. Akan tetapi, Muhammad saw akan kembali kepada mereka dalam diri anak pamannya, Ali bin Abu Thalib, yang merupakan orang terdekat kepadanya."
Dengan khurafat ini, Abdullah bin Saba' berhasil menipu masyarakat Mesir, padahal sebelumnya ia gagal mendapatkan pengikut di Yaman. Orang-orang yang tertipu oleh perkataannya inilah yang berangkat ke Madinah guna memberontak kepada Utsman bin Affan. Akan tetapi, mereka berhasil dihalau oleh Ali bin Abu Thalib, sebagaimana telah Kita ketahui.
Dari sini, kita mengetahui bahwa kelahiran perpecahan umat Islam menjadi dua kubu: Sunni dan Syi'ah, dimulai pada periode ini. Perpecahan ini sepenuhnya merupakan buah tangan Abdullah bin Saba'. Belum lagi penyiksaan dan kekejaman yang dialami oleh Ahlul Bait atau Syi'ah di tangan pemerintahan Umawiyah dan lainnya. Yang penting, bagaimanapun kedua peristiwa ini telah masuk ke dalam sejarah, tetapi kita tidak boleh melupakan realitas lainnya.
Keempat, sekali lagi, kita harus mendapatkan kejelasan tentang hakikat hubungan yang berlangsung antara Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib selama periode khilafah yang ketiga ini, juga hakikat sikap yang diambil Ali bin Abu Thalib terhadap Utsman bin Affan. Seperti telah kita ketahui bahwa Ali bin Abu Thalib segera membaiat Utsman bin Affan sebagai khalifah, bahkan menurut kebanyakan ahli sejarah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, bahwa Ali bin Abu Thalib adalah orang yang pertama membaiat Utsman bin Affan. Kemudian kita ketahui bagaimana Ali bin Abu Thalib mengatakan kepada Utsman bin Affan, ketika ia mendengar segerombolan orang yang dikerahkan oleh Abdullah bin Saba' ke Madinah untuk menggerakkan orang menentangnya, "Aku bereskan kejahatan mereka!" Ali bin Abu Thalib kemudian berangkat dan menemui mereka di Juhfah sampai berhasil menghalau mereka kembali ke Mesir seraya mengatakan,"Inikah orang yang kalian jadikan sebagai sebab dan dalih untuk memerangi dan memprotes khalifah (Utsman bin Affan)?" Kita telah mengetahui bagaimana Ali bin Abu Thalib dengan penuh keikhlasan, kecintaan, dan kemauan yang jujur memberikan nasihat kepadanya. Sebagaimana kita tahu pula Ali bin Abu Thalib membelanya sampai akhir kehidupannya; bagaimana ia memobilisasi kedua putranya, Hasan dan Husain, untuk menjaga Utsman bin Affan dari ulah orang-orang yang mengepungnya?
Dengan demikian, Ali bin Abu Thalib merupakan pendukung Utsman bin Affan yang terbaik selama khilafahnya, di samping merupakan pembela terbaiknya tatkala menghadapi cobaan berat. Ia bersikap tegas dan keras dalam memberikan nasihat kepadanya di belakang hari, tidak lain dan tidak bukan, hanyalah karena cinta dan ghirah kepadanya.
Hendaklah kita memahami hal ini dengan baik agar kita juga mengetahui bahwa orang besar seperti Sayyidina Ali bin Abu Thalib patut diteladani oleh setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukti rasa cinta hanyalah berupa "shidqul ittiba" (mengikuti secara jujur) dan istiqamah (terus menerus) dalam meneladani. Marilah kita jadikan suri tauladan-nya sebagai teladan yang terbaik bagi kita dan bukti paling nyata yang mengungkapkan cinta sejati kepada beliau
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib
"Tidak ada pedang, setajam pedang Zulfikar dan tidak ada pemuda yang setangguh Ali bin Abu Thalib"
... Demikianlah slogan yang selalu didengung-dengungkan oleh kaum muslimin ketika perang Uhud yang amat dahsyat itu tengah berlangsung. Dalam perang tersebut, Ali bin Abu Thalib memperlihatkan ketangguhannya sebagai seorang pahlawan islam yang gagah perkasa. Ia di kenal sebagai jagoan bangsa Arab yang mempunyai kemahiran memainkan pedang dengan tangguh. Sementara itu, baju besi yang dimilikinya berbentuk tubuh bagian depan di kedua sisi, dan tidak ada bagian belakangnya. Ketika di tanya,"Mengapa baju besimu itu tidak dibuatkan bagian belakangnya, Hai Abu Husein?" Maka Ali bin Abu Thalib akan menjawabnya dengan mudah,"Kalau seandainya aku menghadapi musuhku dari belakang, niscaya aku akan binasa."
Ketika terjadi perang Badar antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy, di mana kaum muslimin memperoleh kemenangan yang telak, maka korban yang berjatuhan di pihak kaum Quraisy berjumlah tujuh puluh orang. Konon sepertiga korban yang tewas dari pihak kaum Quraisy pada perang badar itu merupakan persembahan khusus dari Ali bin Abu Thalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib.
Sementara itu Amru bin Wud Al 'Amiri, seorang jawara yang tangguh dari kaum kafir Quraisy ikut serta dalam perang Khandak. Dengan angkuhnya ia menari-nari di atas kudanya sambil memainkan pedangnya dan mengejek kaum muslimin seraya berkata,"Hai kaum muslimin, manakah surga yang telah dijanjikan kepadamu bahwa orang yang gugur diantaramu akan masuk kedalamnya? inilah dia surga yang kini berada di hadapan-mu, maka sambutlah."
Namun nyatanya tak ada seorangpun dari kaum muslimin yang berani maju untuk menjawab tantangan yang dilontarkan Amru bin Wud , yang terkenal bengis dan kejam itu. Tak lama kemudian Ali bin Abu Thalib pun berdiri dan berkata kepada Rasulullah," Ya Rasulullah, kalau Anda mengijinkan, maka saya akan maju untuk bertarung melawannya" Rasulullah menjawab,"Hai Ali, Bukankah dia itu Amru bin Wud, jagoan kaum Quraisy yang ganas itu?" Ali bin Abu Thalib pun menjawab,"Ya, Saya tahu dia itu adalah Amru bin wud, akan tetapi bukankah ia juga manusia seperti kita?" Akhirnya Rasulullah mengijinkan untuk bertarung melawannya.
Dengan pedang Zulfikar Ali bin Abu Thalib menebas musuh-musuhnya
Dengan pedang zulfikar Ali bin Abu Thalib membela islam.
Selang beberapa saat kemudian, Ali bin Abu Thalib telah maju ke gelanggang pertarungan untuk bertarung melawan Amru bin Wud. Lalu Amru bertanya seraya memandang remeh kepadanya,"Siapakah kamu hai anak muda?", "Aku adalah Ali." Amru bin Wud bertanya lagi,"Kamu anak Abdul Manaf?", "Bukan, Aku anak Abu Thalib." Lalu Amru bin Wud berkata,"Kamu jangan maju ke sini hai anak saudaraku! Kamu masih kecil. Aku hanya menginginkan orang yang lebih tua darimu, karena aku pantang menumpahkan darahmu." Ali bin Abu Thalib menjawab,"Jangan sombong dulu hai Amru! Aku akan buktikan bahwa aku dapat merobohkan-mu hanya dalam beberapa detik saja dan aku tidak segan-segan untuk menghantarkan-mu ke liang kubur."
Betapa marahnya Amru bin Wud mendengar jawaban Ali bin Abu Thalib itu. Lalu ia turun dari kuda dan dihunus-nya pedang miliknya itu ke arah Ali bin Abu Thalib. Sementara itu Ali bin Abu Thalib menghadapinya dengan tameng di tangan kirinya.
Tiba-tiba Amru bin Wud melancarkan serangannya dengan pedang. Dan Ali pun menangkis serangan itu dengan menggunakan tamengnya yang terbuat dari kulit binatang sehingga pedang Amru tertancap di tameng itu. Maka secepat kilat Ali menghantamkan dengan keras pedang Zulfikar pada tengkuknya hingga ia tersungkur ke tanah dan bersimbah darah, dan kaum kafir Quraisy lainnya yang melihat itu lari tunggang langgang.
Pada suatu ketika Rasulullah mengutus pasukan kaum muslim ke Wilayah Khaibar di bawah pimpinan Abu Bakar As Siddiq. Lalu pasukan tersebut berangkat untuk menembus benteng pertahanan Khaibar. Dengan mengerahkan segala daya kekuatan mereka berusaha membobol benteng tersebut, namun pintu benteng tersebut sangat kokoh sehingga sukar untuk ditembus-nya.
Keesokkan harinya, Rasulullah mengutus Umar bin Khattab untuk memimpin pasukan untuk menaklukkan benteng tersebut. Dengan semangat yang berkobar-kobar akhirnya terjadilah peperangan yang dahsyat antara dua pasukan bersenjata itu. Umar terus membangkitkan semangat anak buahnya agar dapat menguasai benteng khaibar, namun upaya mereka belum membuahkan hasil meskipun telah berusaha sekuat tenaga dan mereka pun pulang dengan tangan hampa.
Setelah itu Rasulullah SAW bersabda,"Esok hari aku akan berikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang dicintai Allah dan Rasulnya. Dan mudah-mudahan Allah akan membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin melalui kedua tangannya, sedangkan ia sendiri bukan termasuk seorang pengecut."
Maka para sahabat bertanya-tanya "Siapakah laki-laki yang beruntung itu?" Akhirnya setiap orang dari para sahabat itu berdoa dan memohon kepada Allah agar dialah yang di maksud oleh Rasulullah.
Dan keesokkan harinya Rasulullah ternyata menyerahkan bendera kepemimpinan itu kepada Ali bin Abu Thalib yang sedang menderita penyakit mata. Kemudian Rasulullah meludahi kedua belah matanya yang sedang sakit hingga sembuh seraya berkata,"Hai Ali, terimalah bendera perang ini dan bawalah pasukan kaum muslimin bersamamu menuju benteng Khaibar hingga Allah membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin."
Lalu Ali bin Abu Thalib memimpin pasukan dan memusatkan pasukannya pada sebuah batu karang besar dekat benteng guna menghimpun kekuatan kembali. Tak lama kemudian ia memberikan komando untuk bersiap-siap menyerbu ke benteng dan akhirnya terjadilah perang yang sengit antara kaum muslimin dengan orang-orang yahudi di sana.
Ali bin Abu Thalib memainkan pedang Zulfikar-nya dengan gesit dan menghunuskan kepada musuhnya yang berani menghadang. Tidak ada musuh pun yang selamat dari kelebatan pedang yang di genggam Ali. Akan tetapi seorang yahudi tiba-tiba menghantamkan pedang kearahnya dengan keras. Secepat kilat di tangkis serangan itu dengan tamengnya, hingga terjatuh tamengnya itu. Akhirnya ia raih sebuah pintu besar yang terbuat dari besi yang berada di sekitar benteng dan dijadikan-nya sebagai tameng dari serangan pedang orang-orang yahudi lainnya. Dan ia tetap menggunakan pintu besar itu hingga perang usai dan kaum muslimin memperoleh kemenangan.
Abu Rofi' seorang sahabat yang ikut perang itu menyatakan,"Aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ali bin Abu Thalib mencabut pintu besi yang besar itu untuk dijadikan tameng-nya, Setelah tameng-nya terjatuh dari tangannya." Kemudian setelah perang usai, ada delapan orang laki-laki, salah seorang diantaranya adalah aku sendiri, yang berusaha untuk menggotong dan menempatkan kembali pintu besi itu ke tempat semula, tetapi mereka tidak mampu untuk melakukannya karena terlalu berat."
Tentang Ali Bin Abu Thalib
Ali bin Abu Thalib, paman Nabi saw, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah, Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, 'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani.
Dengan demikian, jelaslah, Ali bin Abu Thalib adalah berdarah Hasyimi dari kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang kemudian menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali bin Abu Thalib, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah (Ibu Ali bin Abu Thalib) meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju gamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya. Dan bersabda,
"Semoga Allah SWT memberikan balasan yang baik bagi ibu asuhku ini. Engkau adalah orang yang paling baik kepadaku, setelah pamanku dan almarhumah ibuku. Dan semoga Allah SWT meridhai-mu."
Dan karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.
Haidarah adalah nama lain Imam Ali bin Abu Thalib yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya dengan Ali, sehingga dia terkenal dengan dua nama tersebut, meskipun nama Ali kemudian lebih terkenal.
Sifat Ali Bin Abu Thalib
Ali Bin Abu Thalib tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng Rasulullah Saw saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau. Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.
Ali bin Abu Thalib adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi dan pendek. Perutnya agak menonjol. Pundaknya lebar. Kedua lengannya berotot, seakan sedang mengendarai singa. Lehernya berisi. Bulu jenggotnya lebat. Kepalanya botak, dan berambut di pinggir kepala. Matanya besar. Wajahnya tampan. Kulitnya amat gelap. Postur tubuhnya tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja. Berisi. Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti berjalannya Rasulullah Saw. Seperti dideskripsikan dalam kitab Usudul Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi Thalib bermata besar, berkulit hitam, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat, bertubuh pendek, amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur, dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.
Jika ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera maju tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah. Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk kemudian membuat mangsa tak berkutik.
Tadi adalah sifat-sifat fisiknya. Sedangkan sifat-sifat kejiwaannya, maka ia adalah sosok yang sempurna, penuh dengan kemuliaan.
Keberaniannya menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali ia menghadapi musuh di medan perang, maka dapat dipastikan ia akan mengalahkannya.
Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan tidak pernah melalaikan syari'at.
Seorang yang zuhud, dan memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia makan cukup dengan berlauk-kan cuka, minyak dan roti kering yang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas, dan menahan dingin di kala hawa dingin menghempas.
Penuh hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun dalam sesuatu yang ia lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi umat. Ia meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan seirama dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian butiran-butiran air di lautan.
Ia bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat ia sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu, dan memandang kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas yang tidak sempurna berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. Gurauan adalah 'anak' dari kritik. Dan ia adalah 'anak' dari filsafat. Menurutku, gurauan yang tepat adalah suatu tanda ketinggian intelektualitas para tokoh pemikir dalam sejarah.
Ia terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai sastra Arab yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits Rasulullah Saw, sehingga menambah benderang dan semerbak kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan sastra Arab.
Ia amat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Serta berbuat baik kepada kerabatnya. Amat mementingkan isterinya yang pertama, Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan apa yang baik dan indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau kenalannya.
Ali Bin Abu Thalib berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya terpatri dalam sejarah. Tidak mundur dalam membela prinsip dan sikap. Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh dalam politik, tipu daya bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga kesulitan menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga yang tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan apa yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi.
Istri-istri Ali bin Abu Thalib
Setelah Fathimah az Zahra wafat, Imam Ali menikahi Umamah bin Abi Al Ash bin Rabi' bin Abdul Uzza al Qurasyiyyah. Selanjutnya menikahi Umum Banin bini Haram bin Khalid bin Darim al Kulabiyah. Kemudian Laila binti Mas'ud an Nahsyaliyyah, ad Daarimiyyah dari Tamim. Berikutnya Asmaa binti 'Umais, yang sebelumnya merupakan isteri Ja'far bin Abi Thalib, dan selanjutnya menjadi isteri Abu Bakar (hingga ia meninggal), dan berikutnya menjadi isteri imam Ali. Selanjutnya ia menikahi Ummu Habib ash Shahbaa at Taghalbiyah. Kemudian, Khaulah binti Iyas bin Ja1far al Hanafiyyah. Selanjutnya Ummu Sa'd ats Tsaqafiyyah. Dan Mukhabba'ah bintih Imri'il Qais al Kulabiyyah.
Menjadi Khalifah
Ketika Ali bin Abu Thalib di angkat menjadi khalifah ke empat menggantikan Khalifah Ustman bin Affan, maka ia tidak pernah melakukan kecurangan ataupun penyelewengan dalam pemerintahannya. Ia tidak pernah melakukan korupsi ataupun memakan uang rakyat yang terdapat di "baitul maal." Namun Ia lebih memilih untuk bekerja sendiri ataupun menjual harta benda miliknya sendiri untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari.
Bahkan diceritakan bahwa Ia pernah pergi ke pasar untuk menawarkan pedangnya kepada orang-orang yang berada di sana sambil berkata,"Adakah di antara kalian yang akan membeli pedangku ini, karena hari ini aku sedang tidak mempunyai uang?" Kemudian orang-orang balik bertanya kepadanya,"Bukankah anda seorang Khalifah yang mempunyai uang banyak ya Amirul Mukminin?" Lalu Ali pun menjawab,"Kalau seandainya aku mempunyai uang empat dirham saja, tentu aku tidak akan menjual pedang kesayanganku ini."
Pernah suatu ketika Ali bin Abu Thalib tengah menangis di mihrab Masjid Nabawi seraya berkata,"Wahai dunia, janganlah engkau berupaya memperdayai-ku Tetapi perdaya-lah orang-orang selain-ku. Sungguh aku telah menceraikanmu dari diriku dan jangan engkau kembali kepadaku!"
Akhirnya lelaki yang dicintai Allah dan Rasul-NYA ini gugur sebagai syahid di dekat pintu masjid Kufah pada 17 Ramadhan 40 H, akibat di tikam dengan pedang beracun di bagian kening oleh Abdurrahman bin Muljam, ketika ia akan melaksanakan salat subuh berjamaah dengan kaum muslimin.
Bagaimanapun sejarah telah mencatat Bahwa Sayyidina Ali Bin Abu Thalib KW adalah seorang laki-laki yang gagah berani, tangkas cerdas, dan dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Langganan:
Postingan (Atom)